Laman

Sabtu, 15 Oktober 2016

Jilbab Pertamaku: Tanda Baktiku Untuk Abah

Ini adalah sebuah cerita tentang jilbab syar'i pertama saya.

Saya ingat hari itu sabtu di akhir perkuliahan semester pertama. Ya, sebentar lagi saya akan genap satu semester menyandang status sebagai mahasiswa. Bangga? Ya. Bahagia, mungkin begitu lebih tepatnya, karena saat itu saya tahu bahwa masih banyak teman-teman saya yang tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi. Saya sangat bersyukur sekali bisa sampai di sini. Terlebih waktu itu saya juga tidak harus bersusah-susah untuk dapat masuk ke perguruan tinggi negeri seperti rekan-rekan saya yang lainnya, saya masuk lewat jalur PMDK a.k.a SNMPTN Undangan. Alhamdulillaah.

Tidak seperti biasanya, akhir pekan itu saya tidak pergi kemana-mana. Saya berdiam diri di kosan, beres-beres sambil menunggu seseorang datang. Di kemudian hari, orang ini akan menjadi orang yang berjasa karena telah mau bersusah payah menuntun dan memapah saya ke jalan ini padahal dia bisa saja berlari dan meninggalkan saya sendiri. Jalan yang saya pilih ketika kuliah adalah jalan yang katanya penuh onak dan duri dan peminatnya sedikit sekali. Ah, saya tidak mau ambil peduli, saya sudah kadung jatuh cinta, saya sudah bulat memilih untuk berada di jalan ini. In syaa Allaah.

Mari kita sebut ia Matahari. Ya, selayaknya matahari ia tidak pernah berhenti menyinari bumi, kalaupun ia harus terbenam ia hanya terbenam untuk terbit dan menyinari sisi bumi yang lain. Pun, dengan teman saya si Matahari ini. Ia selalu menyinari dengan pengetahuan yang sebenarnya sayapun sudah tahu, hanya saja selama ini saya seolah tidak mau tahu. Dengan sabar ia terus menunjukkan kepada saya bagaimana menerapkan pengetahuan itu dalam perihidup keseharianku. Pengetahuan yang saya maksudkan di sini adalah ini: "... hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka... (Al-Ahzaab:59)". Betul, mengenai perintah untuk berjilbab yang sesuai dengan syariat-Nya. Dan, betul, waktu itu saya baru sebatas tahu akan keharusan menutup aurat secara sempurna sebagaimana yang diajarkan oleh ustadz dalam ceramahnya (yang seringnya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. hihi) juga kata guru agama di sekolah saya dulu. Berbeda dengan temanku si Matahari itu, selain ia tahu ia pun melaksanakannya juga, konon katanya semenjak ia sekolah menengah pertama ia telah berjilbab sesuai syariat-Nya. Luar biasa!

Menunggu bagi saya adalah hal yang membosankan, ya, sama seperti yang dirasakan orang-orang kebanyakan. Pagi itu saya hampir saja ketiduran. Jika saja dalam hitungan lima menit ia tak juga datang, mungkin saya tidak akan seperti sekarang. Wallahu'alam. Untungnya, sebelum saya benar-benar tertidur, saya mendengar seseorang mengetuk pintu kosan saya. Seseorang yang saya tunggu. Ya, si Matahari itu, akhirnya ia tiba juga. Ia adalah seorang plegmatis-sanguinis dan senyumnya, tentu saja manis. Dengan senyum yang telah terpasang manis di wajahnya ia mengucapkan salam dan dengan tanpa dosa sama sekali, dengan leluasa ia memasuki daerah kekuasaanku. Tak tahu kah kau telah membuatku lama menunggu? Batinku. Dan, seperti biasa, dia mulai menyalakan laptop-nya kemudian memutar lagu-lagu haraki kesukaannya: "Aaa... Ini langkahku... aaaa... terus melaju... Ini langkahku yang kan kuayun... Walaupun payah tak akan jera..." Karena sebenarnya agenda kami waktu itu adalah mengerjakan tugas UAS, jadi biar tambah semangat mengerjakannya ceritanya.

Namun, entah bagaimana cerita detailnya hari itu agenda kebersamaan kami berubah begitu saja. Setelah melihat tugas UAS yang .... ah sudahlah. Kami merasa bosan, apalagi waktu itu masih banyak yang harus kami selesaikan. Akhirnya, kami terlibat perbincangan yang menurut saya seru, ya, obrolan ringan selalu menghadirkan keseruan. Obrolan kami kala itu adalah tentang akang teteh pengurus organisasi di mesjid yang kinyis-kinyis dan lembut-lembut itu. Astagfirullaah, ampuni kami ya Allaah. Semoga tidak termasuk ghibah karena niat kami mencari ibrah. Hingga sampai pada saya berkata: "aku seneng ih liat si teteh itu, adem gitu, tapi kerudungnya itu keleber-keleber gitu apa nggak gerah ya?"

alih-alih menimpali si Matahari cuma ketawa khas-nya yang tidak bisa saya tirukan di sini. "Ya udah kamu coba aja beb!" Katanya kemudian.

"Haha. Kamu mah bisa wae bercandanya!" Jawab saya sekenanya.

"Ih, beneran ini mah. Serius." Katanya lagi.

"Haha. Mending aku dong, duarius!" Yang diam-diam mulai penasaran. "Lagian mana bisa, kerudungnya aku pendek-pendek semua mereun.." lanjut saya.

"Bisa, Bisa. Didouble aja." Katanya mantap.

Entah, bagaimana, perlahan tapi pasti kami mulai menuji tempat penyimpanan kerudung-kerudung itu. Ah, mungkin di sana ada hidayah Allaah mungkin ya <3



Akhirnya kami mengambil beberapa kerudung tipis a.k.a paris yang terdapat di gantungan khusus kerudung tersebut dan kami mulai memadu-padankan mana yang sekiranya cocok untuk dijadikan dalaman dan luaran. Kalau tidak salah ingat, waktu itu kerudung warna peach dijadikan luaran dan kerudung warna cokelat susu yang agak tebal dijadikan dalaman. Setelah dipadankan dan dirapihkan sempurna sehingga tidak terlihat dua, jilbab itu dipasangkan pada kepala-wajah saya, saya dibantunya untuk menancapkan jarum dan dirapihkan bagian belakangnya. Setelah dirasa rapi, ia meminta saya untuk berkaca. Dalam kaca, saya melihat sesosok perempuan yang berbeda, jilbab membalut tubuhnya dengan sempurna. Aku terpana.

"Bagus beb, cantik!" Komentarnya.

Dan, entah, ada perasaan nyaman yang menyeruak dalam dada. Semacam merasa aman dan terjaga. Oh, beginikah rasanya? Inikah indahnya hidayah? Oh, ya Allaah saya belum siap. Saat itu saya masih merasa belum pantas. Tapi saya berpikir sambil terua berkaca diri, kalau bukan sekarang kapan lagi? Kalau dinanti-nanti, nanti bisa jadi keburu mati. Naudzubillaah. Semenjak itu, saya mulai mencoba menata hati, meyakinkan diri sendiri, meniatkan dalam hati untuk mulai berjilbab rapi. Menjemput hidayah-Nya, menjemput ridho-Nya. Dan, mencoba berbakti kepada orang tua dengan cara yang berbeda. Ya, saya ingin membaktikan diri untuk kedua orang tua karena sampai sebesar itu saya belum bisa memberikan apa-apa pada mereka. Hiks.

Saya ingat, mentor saya pernah bilang salah satu cara berbakti dan membahagiakan orang tua adalah dengan berjilbab sesuai syariat.
Kemudian teman mentoring saya waktu itu ada yang menyela, ia belum siap, katanya, ia mau terlebih dahulu menjilbabi hatinya dengan rapi.
Sambil tersenyum mentor saya bilang, menjilbabi diri dan menjilbabi hati itu bukan hal yang berurutan, keduanya perlu dilaksanakan.
Menjilbabi diri secara syar'i adalah keharusan, kepatuhan setiap muslimah terhadap apa yang diperintahkan Tuhan dan menjilbabi hati tidak bisa instan, ia akan terus berproses seiring zaman, kalau mau terus nunggu sampai hatinya 'terjilbabi', apa ada garansi saat itu kita masih ada di dunia ini? Sementara itu, dosa-dosa kita terus bertambah dari hari ke hari karena kelalaian kita dalam menutup aurat yang tidak sesuai syariat. Dosa yang sama yang juga menjadi tabungan dosa ayah dan ibu kita karena kita sebagai anak perempuannya, masih dalam tanggung jawabnya.

"Apa iya, mau terus begitu?" Pertanyaan retoris mentorku.

"Kenapa tidak menjilbabi diri sembari terus menjilbabi hati? Bukankah itu lebih bijaksana?" Pungkasnya dengan senyum yang membuatnya semakin anggun.

Ah, mengingat kata-kata itu saya menjadi semakin bersemangat. Tekad saya sudah membulat. Saya mau berjilbab syar'i, sesuai syariat-Nya. Saya mau berbakti pada Abah yang selama ini berpeluh lelah agar mampu membiayai aku sekolah.

Akan ada seribu jalan bagi orang yang punya keinginan. Dan akan ada seribu alasan bagi orang yang tak berkeinginan.

Semoga Sederhana.

˙˙˙
Melalui tulisan ini saya ingin sekali berterima kasih pada semua pihak yang berjasa menjadikan saya seperti sekarang ini: orang tua saya, guru-guru saya, mentor-mentor saya, teman-sahabat saya dan tentu saja kamu, Matahariku. Uhibbukum fillaah! <3

—esn—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar