Laman

Jumat, 21 Oktober 2016

Mencintai Kehilangan #2

Ada yang selalu aku nantikan, kehadiran.
Ada yang selalu aku takutkan, kehilangan.
Tapi aku tidak mau hilang ingatan,
bahwa semua telah digariskan.

...

Ini merupakan cerita lanjutan, baca terlebih dahulu cerita sebelumnya di sini ya! :)

Hari itu Sabtu, tiga hari berselang selepas kita semua bersama-sama merayakan hari kemerdekaan negara kita tercinta: Indonesia. Saat itu, sependek perhitungan yang saya lakukan usia kehamilan saya sudah akan memasuki periode akhir trimester pertama. Sementara usia janin bisa jadi berselisih sekitar satu sampai tiga minggu kurang dari usia kandungan.

ilustrasi dari app pregnancy+ per tanggal 18 Agustus 2016

Singkat cerita, sabtu itu kami (saya dan suami) ikut gerak jalan santai yang diadakan dalam rangka memeriahkan HUT RI Ke-71. Ya, Mengingat kehamilan saya yang tidak memiliki keluhan apa-apa dan kegiatannya ringan juga, kami ikut dalam kegiatan tersebut. Kegiatan pun berjalan dengan lancar. Setelahnya, semua masih tetap baik-baik saja, saya sehat-sehat saja, saya tidak merasakan pegal atau apa pun, karena memang kami pulang duluan dan tidak mengikuti semua rute jalan juga sih. Hehe.

Hingga sore itu...

Tiba-tiba, tanpa didahului rasa sakit, kram, kontraksi atau apa pun itu, ada —maaf— darah segar yang keluar. Saya mengalami pendarahan ringan. Iya, pendarahan, bukan flek, meski waktu sore itu hanya satu sampai dua tetes.

Karena suami sedang di luar rumah. Segera saya chat suami agar setelah acara selesai langsung pulang untuk mengantar saya memeriksakan diri ke bidan. Tapi memang dasar suami saya (suka gagal romantis) humoris, beliau malah balas chat saya dan bilang nanti saja pulangnya sekalian ba'da isya, menyuruh saya untuk sabar menunggu, padahal, ternyata, ketika beliau mengirim chat itu orangnya sudah ada di depan pintu. Ckck.

Sesampainya di rumah saya sampaikan terkait pendarahan tersebut dan minta antar ke bidan. Suami langsung kaget dan panik, padahal itu sama sekali bukan karakternya. Lalu, keluarga segera menghubungi bidan. Alhamdulillah, setelah dihubungi, bidan segera datang ke rumah saya untuk memeriksa keadaan saya. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tekanan darah saya normal. Hanya saja, karena usia kandungan yang relatif masih muda, detak jantung janin belum terdeteksi (ditambah lagi alatnya yang agak sedikit rusak sehingga hanya terdengar gresek-gresek gitu --"). Bu bidan menyarankan saya untuk bedrest dan segera memeriksakan diri ke DSpOG.

Besoknya, setelah dibuatkan janji oleh bidan, saya memeriksakan diri ke Klinik tempat praktik DSpOG tersebut, ketepatan tempatnya tidak jauh dari rumah. Pagi itu, ternyata sudah cukup banyak pasien yang hendak memeriksakan diri. Tetesan darah yang keluarpun masih terasa sesekali. Setelah menunggu antrian yang cukup lama, saya ditemani suami masuk ke dalam ruangan pemeriksaan, saat itu saya berada di titik pasrah-sementara: apapun yang terjadi, terjadilah...


Ibu dokter kemudian memeriksa kandungan saya, saya berbaring untuk melakukan pemeriksaan melalui USG. Dari hasil USG tersebut dokter menyatakan bahwa usia janin sekitar 9-10 minggu tetapi kandungan saya tidak dapat dipertahankan. Ibu dokter menerangkan perkembangan janin sesuai dengan usianya dengan bahasa kedokteran yang masih dapat kami mengerti kemudian dikomparasikan dengan kondisi janin kami, hingga akhirnya dokter bilang: "singkatnya mahjanin dalam kandungan Ibu teh, sudah meninggal dalam usia 7-8 minggu dan harus segera dibersihkan.."

Innalillaahi wa innailaihi rajiuun...

hasil USG —pertemuan terakhir kita— tanggal 21 Agustus 2016

Saat itu, dokter tidak dapat memastikan penyebab keguguran yang saya alami. Faktor penyebab keguguran itu cukup banyak dan tidak dapat digeneralisasi. Apalagi ini merupakan kehamilan pertama, sulit untuk memastikannya. Suami saya lebih tanggap, suami lantas bertanya, mengenai cara 'pembersihan'nya. Dokter mengatakan bahwa dengan usia kandungan saya yang saat itu 3 bulan lebih beberapa hari, maka sudah tidak bisa dibersihkan dengan memakai obat peluruh dan saya harus menjalani kuretase. Pilihan yang diberikan saat itu hanya kuretase tidak ada pilihan lain. Hanya saja, waktunya bisa saat itu juga di Klinik tersebut dengan terlebih dahulu diinformasikan mengenai biaya administrasi yang harus disediakan atau dapat dilakukan besok-besoknya di RSUD Majalengka atau Kuningan, diberi rujukan.

Saat itu belum ada keputusan dan kami memilih pulang untuk bermusyawarah dengan keluarga. Dalam perjalanan pulang, saya mulai gamang, rupanya otak saya mulai menyadari mengenai hal tersebut. Kehilangan. Sesuatu yang saya cintai, sesuatu yang selama lebih dari tiga bulan bersemayam dalam rahim saya akan segera hilang, akan kembali berpulang.
Akhirnya kami memutuskan agar tindakan tersebut dilakukan hari itu juga. Ditemani suami, mamah dan kakak saya berangkat kembali ke Klinik. Jika dapat dibilang operasi, maka itu adalah operasi pertama yang saya alami sepanjang hidup saya (dan saya tidak mau mengalaminya lagi!). Sesampainya di klinik, saya diberikan obat serbuk dengan cara ditaruh di bawah lidah saya kemudian membiarkannya luruh tanpa boleh dibantu dengan air minum sedikitpun. Rasanya? Tentu saja pahit. Sepahit kenyataan hari itu...

Saya lalu disuruh puasa, dalam artian tidak boleh makan dan minum sampai selesainya proses kuretase. Sesaat setelah itu, obat tersebut rupanya mulai menunjukkan reaksinya, saya mulai merasakan sakit perut yang amat sangat tidak nyaman, dan tidak lama mulailah pendarahan yang cukup deras. Saat itu, saya belum masuk ke ruangan operasi, sehingga masih bisa sandaran pada suami. Saya bersyukur, kejadian itu berlangsung ketika suami berada di sisi, sehingga saya tidak merasa berjuang sendiri. Kembali kita #BerjuangBersama. Tidak berselang lama, saya diminta untuk masuk ke ruangan. Sendirian.

Saat itu, sungguh, saya tidak merasakan ketakutan, mungkin otak dan tubuh saya sudah mulai memasuki fase penerimaan. Perlahan mulai menerima akan takdir yang telah Tuhan gariskan. Saya ingat, perawat meminta saya berbaring, menyelimuti saya, kemudian dokter datang membawa suntikan dan meminta saya untuk tidur. Setelah itu, saya tidak ingat lagi. Rupanya suntikan itu merupakan anestesi dan saya dibius total.

Sekitar satu jam kemudian —katanya—kuretase selesai, saya mulai sadar tidak sadar. Ah, rupanya efek obat biusnya belum sirna sempurna. Setelah agak sadar saya diperbolehkan untuk istirahat diruang perawatan yang lebih nyaman, berpindah dari ruang tindakan. Tak berselang lama, kesadaran saya muncul sepenuhnya. Saya melihat suami saya membawa barang belanjaan berupa keperluan pasca 'melahirkan' dan juga makanan kesukaan saya. Setelah mengambil obat dan semuanya beres, Alhamdulillah, hari itu juga saya diperkenankan pulang, setelah kamu terlebih dahulu pulang.








Sesampai di rumah, setelah sedikit berbincang saya kembali tertidur dan terbangun ketika banyak tetangga berdatangan. Ya, kekeluargaan antar tetangga di sini sangat baik, apabila di antara tetangga yang terkena musibah/sakit/kecelakaan mereka akan menyempatkan diri untuk menjenguk dan turut berduka cita. Kedatangan mereka cukup membuat saya haru dan dari mereka saya banyak mendapatkan pelipur lara, berupa kata-kata motivasi dan nasihat yang mengingatkan saya pada kekuasaan Tuhan, Allaah SWT.

Sore hari itu, tanpa terasa ada yang mulai mengalir kala saya mendengar suami melafal Q.S. Yasin selepas shalat Asharnya. Bukan, In syaa Allaah bukan saya meratapi, airmata itu keluar begitu saja, di luar kendali. Mungkin waktu itu saya masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi. Ya, rupanya, saya masih butuh cukup waktu untuk kembali memenuhi ruangan yang terasa kosong tanpa pernah betul-betul terisi itu untuk menjadi utuh kembali. Saya pun mentoleransi sekaligus mengingatkan diri: boleh mengekspresikan duka tapi jangan berlama-lama.

Puncaknya, sekitar malam ketiga pasca tindakan, tetiba saya menangis tanpa tahu sebabnya. Entahlah, rasanya ada desakan di dalam dada yang tak mampu saya ungkapkan kecuali lewat derai demi derai airmata yang menganak sungai di pipi saya. Ia mengalir dengan derasnya, tanpa bisa lagi saya membendungnya. Saya menumpahkan segala, sambil saya bersandar pada pundak kokohnya yang terasa bergetar. Ah, rupanya ia pun ikut menangis dengan tertahan. Mungkin, sebagaimanapun ia juga merasakan kepedihan yang mendalam yang sama, bedanya ia harus tetap terlihat tegar, karena ia sepenuhnya menyadari bahwa di sisinya ada istri yang harus dikuatkannya.

Kemudian, suami saya mulai bercerita tentang ia yang 'terpaksa' menjadi anak pertama setelah kakaknya meninggal dalam usia 12 jam setelah ia terlahir ke dunia. Kemudian beliau mengajak saya #mengajirasa perasaan ibunya saat itu, mengajak saya bersyukur untuk peristiwa pedih yang kami alami yang setidaknya tidak sepedih yang dialami ibu mertua dan juga bercerita serta memberi nasihat yang syarat hikmah yang lain. Hangat, perlahan rasa itu menjalari jiwa dan raga saya. Untaian cerita dan nasihatnya berhasil masuk sampai alam bawah sadar saya. Dan rupanya mekanisme penerimaan dalam diri saya mulai berjalan dengan sempurna, setelah sebelumnya terhunyung-hunyut, jatuh dan bangun. Malam itu, saya sudah dapat menerima. Tuntas. In syaa Allaah, dengan penerimaan yang ikhlas. Melepas kehilangan dengan cinta, mencintai kehilangan karena-Nya.

"Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan bertambah. Dan segala sesuatu ada pada sisi-Nya dan ada ukurannya." (Q.S. Ar-Ra'du : 8)

Kini, semua telah berlalu. Tulisan ini hanya sebagai perekam waktu. Juga, sebagai sumber jawaban, ya, mana tahu ada lagi yang bertanya: "Koq bisa? Gimana ceritanya?" saat baru mengetahui kalau saya pernah keguguran. Jadi, tinggal saya arahkan ke sini saja, deh. Hehe.

Akhirnya, Alhamdulillaah wa Syukurillaah. Meskipun belum dipercaya-Nya hingga dapat menggenggam, merawat, mendidik dan membesarkannya dengan penuh cinta. Kami tetap berbahagia, setidaknya kami pernah dipercaya untuk merasakan menjadi orang tua meski dalam kurun waktu sekitar tiga bulan saja. Secara tidak langsung, kami pun merasa diberitahu-Nya bahwa In syaa Allaah kami akan berketurunan hanya saja belum sampai pada waktu tepatnya. Kami hanya perlu bersabar sedikit lagi saja. In syaa Allaah.

...

Seperti kehadiranmu yang tiada terduga, kepergianmu pun tiada beda.
Namun bagiku, keduanya bernilai sama, sama-sama: berbunga cinta, berbuah pahala dari Syukur dan Sabar atas segala ketentuan-Nya. In syaa Allaah..


—esn—

6 komentar:

  1. Semoga Allah lekas mengganti amanah nya ya Mba.

    BalasHapus
    Balasan

    1. Aamiin ya Allaah ya Rabbal Alamiin.. Jzk :')

      Hapus
  2. Masyaa Allaah, begitu toh bu uchuuu.. :'(

    Yakin, Allaah akan menggantinya kelak.. :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Allaah ya Rabbal Alamiin.. Jzk :')

      Hapus
  3. Peluk, semoga segera diberi amanah lagi, saya juga sedang menanti, nguat nguatin hati, berusaha percaya.. ah sudahlah.. semoga Allah membukakan rezeki itu segera.. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Peluk juga buat mbaknya {}
      Aamiin ya Allaah.. iya, in syaa Allaah kita akan disampaikan-Nya pada saatnya dan kita tidak boleh berputus asa dari rahmat-Nya :)

      Hapus