Minggu, 16 Oktober 2016

Cerita Unik di Balik Hijrahku

Masih seputar cerita hijrah saya. Kali ini saya ingin berbagi mengenai cerita unk di balik proses hijrah saya yang banyak orang tak mengiranya. Ya, banyak orang tak mengira bahwa saya akan berhijrah secepat itu. Pun, tak banyak memang, yang mengetahui bagaimana dilematika yang bergejolak di dalam jiwa dan konflik bathin yang saya alami berkaitan dengan niatan saya untuk berhijrah. Tanpa ada angin-hujan-badai, tahu-tahu saja saya sudah berhijrah. Hehe.

Termasuk orang tua saya. Ya, mereka tidak mengetahui bahwa saya sedang berprosea untuk berhijrah. Selain takutnya mereka menjadi berpikir yang aneh-aneh, semenjak kuliah saya mulai berusaha untuk menyelesaikan segala persoalan hidup saya sendiri, ceritanya mau belajar mandiri. Setelah memutuskan berhijrah, seminggu kemudian saya pulang ke rumah dengan membawa beberapa tas jingjingan. Isinya? Semua celana jeans saya. Ya, semuanya termasuk celana-celana yang baru saya beli ketika masuk kuliah waktu itu, saya bungkus semua untuk dibawa pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ekspresi orang rumah tentu saja terheran-heran dengan 'perubahan tampilan' saya. Namun, mamah yang kala itu menyambut saya lebih sigap menyuruh saya beristirahat ketimbang bertanya mengenai perubahan tersebut, meski terlihat dari tatapannya yang mempertanyakan. Saya pun memilih mengistirahatkan diri daripada memberikan penjelasan atas pertanyaan yang tak terungkapkan. Hehe.

Besoknya, pagi-pagi saya langsung menyerahkan barang bawaan saya ke mamah dan dengan polos tanpa dosa bilang—yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bunyinya—begini: "Mah, tolong ini dibagikan saja ke saudara atau tetangga.."
Mamah sontak membuka bungkusan tersebut, setelah terbuka diketahui bahwa isinya adalah baju-baju yang 'kekecilan' dan seluruh celana jeans yang saya bawa ke Bandung. Reaksi Mamah? Susah menggambarkannya. Tapi kemudian "Loh, ini kan masih baru, baru kamu beli kemarin pas mau kuliah. Emang kenapa mau dikasih-kasih?" Tanyanya. "Iya, sekarang aku sudah tidak mau pakai itu lagi. Mau pakai rok saja. Doakan ya." Jawabku mantap. Mamah? Masih terheran-heran dengan tingkah ajaibku. Ya, bagaimana tidak ajaib, dulu disuruh pakai rok itu susahnya minta ampun, disuruh beli pun malah memilih tak beli pakaian daripada harus beli rok. Kurang ajaib apa? Dan, lucunya ya, dikemudian hari diketahui bahwa ternyata Mamah belum juga membagikan pakaian-pakaian tersebut, Mamah takut aku hanya 'berubah sementara', Mamah memilih menyimpannya dengan rapih dan baru kemudian membagikannya setelah yakin bahwa anaknya telah 'berubah permanen' setelah melihat saya beberapa bulan tersebut istiqamah memakai pakaian syar'i. Alhamdulillaah.

gambar diambil dari google, berhubung koleksi jeans saya entah sudah dimana. Hehe.


Hmmm.. di atas sudah saya katakan bahwa saya ingin belajar hidup mandiri, kan? Nah, Frasa ini: Hidup Mandiri, saya dapatkan setelah saya mengikuti training motivasi dari seorang motivator nasional kalau tidak salah, yang diadakan pada kegiatan Tutorial, lagi-lagi Tutorial. Jadi, begini cerita awalnya, dalam training tersebut sang motivator menjelaskan perjalanan hidup dan targetannya ketika kuliah. Salah satunya adalah mandiri secara finansial ketika semester empat kuliah, maka, mulailah ia berjualan apa saja yang bisa dijual dan tak mengganggu perkuliahannya. Ia menyampaikannya dengan heroik sekali, saya termotivasi untuk mengikuti. Kemudian ia menantang, siapa yang berani saat itu juga untuk menelepon orang tua dan bilang tak usah lagi dikirimi uang bulan karena mau belajar mandiri secara penghasilan. Dan, ternyata ada yang berani saudara-saudara. Ikhwan dari baris depan. Wih, keren lah. Saya? Masih pikir-pikir. Hehe.

Hari berlalu, dan saya masih bergulat dengan pikiran: "saya jualan apa, ya?" Sampai suatu hari saya membawa bekal nasi kuning ke kelas dan ternyata teman-teman pada nyicip dan menurut mereka enak. Aha! Saya dapat inspirasi juga. Akhirnya saya membuat list pemesan yang tak lain teman-teman kelas sendiri dan mulai berjualan nasi kuning dan nasi uduk sesuai pesanan.

gambar diambil dari google. beginilah kurang lebih tampilan nasi kuning jualan saya dulu, sayang, dulu tak sempat mengabadikannya. Huhu.


Uniknya, setelah sehari berjualan nasi dan belum sempat menghitung keuntungan yang didapatkan—waktu itu saya mengambil keuntungan lima ratus rupiah saja per porsi. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sebelum berangkat ke kampus, saya sudah menelepon orang tua. Tujuannya? Tentu saja, dengan bangga dan penuh percaya diri bilang: "Mah, Tak usah kirimi saya uang bulanan lagi, saya bisa belajar mandiri. Assalamualaikum." Klik. Telepon saya langsung tutup tanpa mendengar komentar yang ditelepon di sana. Maklum, jiwa saya masih berapi-api setelah disiram bensin motivasi tempo hari lalu. Hehe.

Hasilnya? Alhamdulillaah, saya berjualan nasi kuning dan uduk dan berhasil bertahan selama satu pekan dan bubar jalan di pekan selanjutnya karena saya kurang sabar. Hehe. Hingga ujung-ujungnya tetap saja mengandalkan subsidi orang tua untuk pembiayaan hidup saya. Baiklah, misi hidup mandiri di awal hijrah saya belum gagal total. Hehe. Tapi tidak apa, dari sana saya belajar bahwa memang tidak ada yang instan dalam hidup ini. Termasuk mie instan yang jadi teman setia saya waktu zaman jadi anak kosanpun sebenarnya tidak instan, karena ia tidak masak begitu saja, kita perlu terlebih dahulu menyiapkan air manas, mangkuk, sendok dan garpu sehingga ia bisa sampai ke mulut kemudian perut kita.

Semoga sederhana.

˙˙˙

Setiap orang punya cerita hijrahnya masing-masing, punya tantangan yang harus ditaklukannya masing-masing. Dan, setiap cerita punya keunikannya masing-masing. Itu ceritaku, mana ceritamu?

—esn—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar